Sengketa
Tanah Lemukih Berawal dari Landreform
LATAR
BELAKANG
Landreform
adalah perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yg bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
Program
Landreform meliputi :
1. pembatasan
luas maks. Penguasaan tanah
2. larangan
pemilikan tanah sec. Absentee
3. redistribusi
tanah
4. pengembalian
dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
5. pengaturan
kembali perjanjian bagi hasil
6. penetapan
luas min. pemilikan tanah pertanian
LANDASAN
TEORI
- UUPA
Pasal 7, “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
- UUPA
Pasal 10,
1) “Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan
daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
3) Pengecualian
terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.”
- UUPA
Pasal
17
- UU No.
56 Prp Th.1960
- UU No.
2 Th. 1960
- PP No.
224 Th. 1961
KASUS
Kasus
tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya
aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih
dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah
sehingga keluar sertifikat hak milik.
Kepala
Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974
terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Padahal banyak ahli waris
tak mengetahui batas tanahnya. Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit
perpecahan, namun konflik itu tidak muncul ke permukaan.
Mulai
tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi
lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan.
Tututan warga antara lain meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan
mengambil peran untuk membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di
Lemukih.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selama
tahun 2003 hingga tahun 2008, warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo
agar sertifikat atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga
pemegang sertifikat tetap ngotot mempertahankan tanah mereka.
Setelah
tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan
antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah
tanah duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan
disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor
34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.
Menurut
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor
570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur
penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.
Suasana
makin panas ketika tahun 2009 Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27
Agustus 2009. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa
pakraman dengan warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal
dilaksanakan karena petugas merasa keselamatannya terancam.
Selama
ketegangan ini berlangsung terjadi beberapa pelanggaran, diantaranya adalah
pembakaran rumah, penyiksaan warga pendukung sertifikat, pengusiran warga yang
pro pemilik sertifikat, sweeping warga, perusakan fasilitas umum, dll.
ANALISIS
KASUS
Pembatasan
luas tanah yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan landreform sesuai
dengan pasal 7 dan 17 dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dan sertifikat hak
milik telah diterbitkan sekitar tahun 1974.
Namun,
sekitar tahun 2003 terjadi ketegangan antar warga yang ternyata mengungkit
kembali kasus landreform 1974 tersebut. Warga terpecah menjadi dua kelompok,
yakni kelompok pro dan kontra.
Kelompok
pro adalah orang-orang yang setuju dengan adanya landreform berikut
sertifikatnya. Sedangkan kelompok kontra adalah orang-orang yang tidak setuju
dengan adanya aturan pembatasan luas tanah dan adanya sertifikat hak milik
tersebut.
Kelompok
kontra menganggap bahwa proses pen-sertifikatan tersebut adalah salah. Sehingga
mereka menginginkan dilakukannya pengukuran ulang.
Namun,
dari pihak pro ingin mempertahankan sertifikatnya, sehingga mereka melakukan
protes terhadap pihak pengukur. Sedangkan pihak kontra tetap mendesak agar
pengukuran dilakukan.
Pada
akhirnya pengukuran dibatalkan. Dan terjadi berbagai pelanggaran terkait dengan
2 pihak yang bersitegang tersebut.
Sedangkan
pemerintah hanya berusaha menyelesaikan imbas dari permasalahan, bukan
menyelesaikan sumber masalah.
KESIMPULAN
- Diterapkannya
Landreform di suatu daerah tentunya akan ada pihak yang merasa diuntungkan dan
pihak yang merasa dirugikan.
- Pihak
yang merasa diuntungkan adalah mereka yang memiliki sertifikat, tapi
kesalahannya adalah tidakbersedianya mereka untuk melakukan pengukuran ulang.
Pihak yang dirugikan adalah mereka yang tidak memiliki sertifikat, karena
merasa lahan yang mereka dapatkan tidak sesuai.
- Nampaknya
pemecahan masalah dengan cara musyawarah telah hilang dari benak masyarakat,
karena warga lebih memilih untuk membakar rumah, menganiaya, dan merusak
daripada menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.
SARAN
- Sebaiknya
pengukuran ulang lahan tetap dilakukan agar kedua belah pihak mengetahui
kebenaran luas wilayahnya.
- Seharusnya
penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan lebih diutamakan daripada dengan
cara kekerasan.
- Pihak
pemerintah seharusnya ikut turun tangan untuk membahas dan menyelesaikan sumber
permasalahan, bukan hanya imbas permasalahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar