mee

mee

Rabu, 12 Desember 2012

Sengketa Tanah Lemukih


Sengketa Tanah Lemukih Berawal dari Landreform 

LATAR BELAKANG
Landreform adalah perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yg bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
Program Landreform meliputi :
1.             pembatasan luas maks. Penguasaan tanah
2.             larangan pemilikan tanah sec. Absentee
3.             redistribusi tanah
4.             pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
5.             pengaturan kembali perjanjian bagi hasil
6.             penetapan luas min. pemilikan tanah pertanian

LANDASAN TEORI
-          UUPA Pasal 7, “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
-          UUPA Pasal 10,
1)            “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2)            Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3)            Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.”
-          UUPA Pasal 17                     
-          UU No. 56 Prp Th.1960
-          UU No. 2 Th. 1960
-          PP No. 224 Th. 1961

KASUS
Kasus tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik.
Kepala Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974 terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Padahal banyak ahli waris tak mengetahui batas tanahnya. Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit perpecahan, namun konflik itu tidak muncul ke permukaan.
Mulai tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan. Tututan warga antara lain meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan mengambil peran untuk membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di Lemukih.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selama tahun 2003 hingga tahun 2008, warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo agar sertifikat atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga pemegang sertifikat tetap ngotot mempertahankan tanah mereka.
Setelah tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah tanah duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor 34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor 570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.
Suasana makin panas ketika tahun 2009 Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27 Agustus 2009. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa pakraman dengan warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal dilaksanakan karena petugas merasa keselamatannya terancam.
Selama ketegangan ini berlangsung terjadi beberapa pelanggaran, diantaranya adalah pembakaran rumah, penyiksaan warga pendukung sertifikat, pengusiran warga yang pro pemilik sertifikat, sweeping warga, perusakan fasilitas umum, dll.

ANALISIS KASUS
Pembatasan luas tanah yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan landreform sesuai dengan pasal 7 dan 17 dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dan sertifikat hak milik telah diterbitkan sekitar tahun 1974.
Namun, sekitar tahun 2003 terjadi ketegangan antar warga yang ternyata mengungkit kembali kasus landreform 1974 tersebut. Warga terpecah menjadi dua kelompok, yakni kelompok pro dan kontra.
Kelompok pro adalah orang-orang yang setuju dengan adanya landreform berikut sertifikatnya. Sedangkan kelompok kontra adalah orang-orang yang tidak setuju dengan adanya aturan pembatasan luas tanah dan adanya sertifikat hak milik tersebut.
Kelompok kontra menganggap bahwa proses pen-sertifikatan tersebut adalah salah. Sehingga mereka menginginkan dilakukannya pengukuran ulang.
Namun, dari pihak pro ingin mempertahankan sertifikatnya, sehingga mereka melakukan protes terhadap pihak pengukur. Sedangkan pihak kontra tetap mendesak agar pengukuran dilakukan.
Pada akhirnya pengukuran dibatalkan. Dan terjadi berbagai pelanggaran terkait dengan 2 pihak yang bersitegang tersebut.
Sedangkan pemerintah hanya berusaha menyelesaikan imbas dari permasalahan, bukan menyelesaikan sumber masalah.

KESIMPULAN
-          Diterapkannya Landreform di suatu daerah tentunya akan ada pihak yang merasa diuntungkan dan pihak yang merasa dirugikan.
-          Pihak yang merasa diuntungkan adalah mereka yang memiliki sertifikat, tapi kesalahannya adalah tidakbersedianya mereka untuk melakukan pengukuran ulang. Pihak yang dirugikan adalah mereka yang tidak memiliki sertifikat, karena merasa lahan yang mereka dapatkan tidak sesuai.
-          Nampaknya pemecahan masalah dengan cara musyawarah telah hilang dari benak masyarakat, karena warga lebih memilih untuk membakar rumah, menganiaya, dan merusak daripada menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.

SARAN
-          Sebaiknya pengukuran ulang lahan tetap dilakukan agar kedua belah pihak mengetahui kebenaran luas wilayahnya.
-          Seharusnya penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan lebih diutamakan daripada dengan cara kekerasan.
-          Pihak pemerintah seharusnya ikut turun tangan untuk membahas dan menyelesaikan sumber permasalahan, bukan hanya imbas permasalahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar