mee

mee

Kamis, 13 Desember 2012

Pecah antar warga karena perebutan Tanah

 Delapan rumah hangus dalam bentrokan antarawarga yang kembali pecah di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT),  hari ini.

Delapan rumah yang dibakar oleh warga Desa Lewonara adalah milik warga Dusun Bele, Desa Lewobunga. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Desa Lewonara dan Lewobunga sebelumnya pernah terlibat konflik pada pada 2 hingga 8 Oktober lalu yang mengakibatkan satu orang tewas tertembak dan lima orang luka karena terkena panah dan tertembak.

Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar Febrin Ida Pello mengatakan kejadian berawal dari sejumlah warga Dusun Riangbunga, Desa Lewobunga, yang pergi ke Dusun Bele untuk mengambil barang-barang mereka yang tertinggal saat bentrokan 2 Oktober lalu.

Melihat warga berbondong-bondong pergi ke Dusun Bele yang berdekatan dengan Desa Lewonara, masyarakat desa itu menyangka akan diserang. Mereka kemudian bersiap-siap melakukan serangan. Aparat keamanan dari Brigade Mobil (Brimob) dan Polres Flores Timur yang saat ini masih berjaga-jaga di Dusun Bele kemudian menghalau warga Dusun Riangbunga.

"Setelah warga Dusun Riangbunga mundur, warga Desa Lewonara justru melakukan perusakan dan membakar rumah. Ada delapan rumah yang dirusak dan dibakar," katanya.

Hingga pukul 15.30 Wita, warga dua desa yang bentrok telah kembali ke rumah masing-masing. Namun, aparat kepolisian masih bersiaga di perbatasan kedua desa guna mengantisipasi bentrok susulan. "Polisi masih amankan lokasi bentrokan," katanya. Awalnya bentrokan antarwarga dipicu perebutan tanah ulayat. 

Rabu, 12 Desember 2012

Sengketa Pertanahan

Sengketa Pertanahan
Gerakan Masyarakat
Pemantau Pembangunan
SENGKETA lahan sejak zaman kolonial hingga sekarang seakan tidak pernah usai dari pengaruh percaturan politik Indonesia. Bahkan, ditengarai hampir 80% konflik di Indonesia berlatar belakang masalah tanah.
Tanah adalah modal dasar bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, ironisnya, sampai sekarang pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda untuk memperbaiki pola penyelesaian sengketa tanah secara tersistem. Bahkan, dari waktu-ke waktu sengketa pertanahan makin parah dan memprihatinkan, seperti kasus perebutan lahan di Mesuji, baru-baru ini.
Berawal dari 'Erpacht'
Kian masifnya konflik pertanahan di Indonesia khususnya di daerah perdesaan banyak bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (negara dan swasta) dan rakyat petani. Konflik tersebut berawal dari lahirnya hak erpacht warisan kolonial yang kemudian dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU) pada tanah perkebunan.
Berangkat dari adanya kebijakan erpacht tersebut, lahan produktif yang dikuasai pengusaha semakin luas. Tidak terkecuali tanah yang semula dikuasai para petani telah beralih tangan kepada pengusaha, entah itu pengambilalihan secara paksa maupun melalui campur tangan pemerintah dengan kebijakan HGU-nya. Berangkat dari sinilah perlawanan-perlawanan para petani dalam mempertahankan tanahnya mulai timbul.
Posisi petani semakin terjepit akibat intervensi pemerintah dalam sengketa pertanahan, ditambah lagi pengaruh kekuatan pasar. Sekarang ini, masalah yang dihadapi petani bukan hanya mempertahankan tanahnya dari penguasaan negara, melainkan juga kekuatan kapitalisme di pasar global yang cenderung meningkat.
Kekuatan pasar global mampu menyedot siapa saja ke dalamnya. Penawaran-penawaran yang dilontarkan oleh kekuatan pasar mampu menggeser tatanan nilai yang sudah mapan sekalipun. Konspirasi antara negara dan pasar dari hari ke hari semakin menyudutkan posisi para petani. Tidak sedikit para petani yang kehilangan tanah mereka. Tanah yang semula dikuasai petani telah beralih tangan kepada para pengusaha.
Pengalihan hak kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut membuat petani terpaksa hidup dalam keterbatasan lahan pertanian. Kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di Indonesia.
Menyulut Gerakan Radikal
Dalam banyak kasus, kebijakan negara dalam bidang pertanahan banyak merugikan kaum tani dan akhirnya menyulut gerakan radikal kaum tani. Tren perlawanan kaum tani saat ini mulai berubah menjadi bentuk kekerasan massa dan sering berakhir destruktif. Target kekerasan biasanya yang dianggap sebagai simbol-simbol kekuasaan (negara-pasar).
Radikalisasi gerakan petani dibagi menjadi beberapa periode, yakni masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Radikalisasi petani era kolonial terjadi karena pengambilalihan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasa tanah oleh Belanda dan Inggris untuk usaha perkebunan. Bentuk radikalisasi petani pada waktu itu berupa pemberontakan terhadap pemerintah, yang dikenal dengan istilah Ratu Adil yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan (Katodirdjo, 1984).
Radikalisasi petani pada era Orde Lama dipicu intervensi partai politik dalam mem-blow out masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sedangkan masa Orde Baru, tanah dipandang sebagai komoditas. Radikalisasi gerakan petani di era reformasi dicirikan dengan saling klaim akibat ketidakjelasan paradigma dalam penanganan sektor pertanian. Nasib petani pun tetap termarginalisasi oleh para pemilik modal.
Perlawanan petani terhadap hegemoni negara dalam hal kepemilikan tanah sampai sekarang belum mencapai hasil yang memuaskan. Bahkan, negara semakin leluasa mengeksploitasi petani dengan memanfaatkan peraturan hukum yang keliru. Negara dengan leluasa menguasai lahan yang sebelumnya dikuasai petani yang merupakan warisan nenek moyang mereka dan kini telah berpindah penguasaan ke tangan para kapitalis.
Bahkan, yang paling ironis adalah terjadinya perampasan tanah petani oleh negara dengan cara menerbitkan sertifikat ganda. Hal ini jelas-jelas mengindikasikan betapa buruknya sistem agrari di Tanah Air.
Pembaruan Agraria
Banyaknya perpindahan lahan petani kepada para kapitalis telah ikut mengubah kultur masyarakat kita. Kultur masyarakat yang semulanya ramah dan bersahaja menjadi pemarah. Sentra pertanian dan perkebunan kini berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan modern seperti supermarket. Imbasnya, jelas-jelas menjadikan masyarakat semakin konsumtif.
Untuk memfasilitasi penyelesaian konflik tanah, seharusnya Pemerintah Pusat maupun daerah melakukan pembaruan sistem agraria yang masih amburadul. Jangan sampai konflik pertahanan berlanjut dan memakan korban lebih banyak lagi. Sudah seharusnya kita bersama-sama menyatukan visi dan misi membangun negara yang harmonis, berdaulat, dan mempunyai sistem agraria yang baik. (n)






Sengketa Tanah Lemukih


Sengketa Tanah Lemukih Berawal dari Landreform 

LATAR BELAKANG
Landreform adalah perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yg bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
Program Landreform meliputi :
1.             pembatasan luas maks. Penguasaan tanah
2.             larangan pemilikan tanah sec. Absentee
3.             redistribusi tanah
4.             pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
5.             pengaturan kembali perjanjian bagi hasil
6.             penetapan luas min. pemilikan tanah pertanian

LANDASAN TEORI
-          UUPA Pasal 7, “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
-          UUPA Pasal 10,
1)            “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2)            Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3)            Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.”
-          UUPA Pasal 17                     
-          UU No. 56 Prp Th.1960
-          UU No. 2 Th. 1960
-          PP No. 224 Th. 1961

KASUS
Kasus tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah sehingga keluar sertifikat hak milik.
Kepala Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974 terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Padahal banyak ahli waris tak mengetahui batas tanahnya. Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit perpecahan, namun konflik itu tidak muncul ke permukaan.
Mulai tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan. Tututan warga antara lain meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan mengambil peran untuk membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di Lemukih.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selama tahun 2003 hingga tahun 2008, warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo agar sertifikat atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga pemegang sertifikat tetap ngotot mempertahankan tanah mereka.
Setelah tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah tanah duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor 34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor 570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.
Suasana makin panas ketika tahun 2009 Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27 Agustus 2009. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa pakraman dengan warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal dilaksanakan karena petugas merasa keselamatannya terancam.
Selama ketegangan ini berlangsung terjadi beberapa pelanggaran, diantaranya adalah pembakaran rumah, penyiksaan warga pendukung sertifikat, pengusiran warga yang pro pemilik sertifikat, sweeping warga, perusakan fasilitas umum, dll.

ANALISIS KASUS
Pembatasan luas tanah yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan landreform sesuai dengan pasal 7 dan 17 dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dan sertifikat hak milik telah diterbitkan sekitar tahun 1974.
Namun, sekitar tahun 2003 terjadi ketegangan antar warga yang ternyata mengungkit kembali kasus landreform 1974 tersebut. Warga terpecah menjadi dua kelompok, yakni kelompok pro dan kontra.
Kelompok pro adalah orang-orang yang setuju dengan adanya landreform berikut sertifikatnya. Sedangkan kelompok kontra adalah orang-orang yang tidak setuju dengan adanya aturan pembatasan luas tanah dan adanya sertifikat hak milik tersebut.
Kelompok kontra menganggap bahwa proses pen-sertifikatan tersebut adalah salah. Sehingga mereka menginginkan dilakukannya pengukuran ulang.
Namun, dari pihak pro ingin mempertahankan sertifikatnya, sehingga mereka melakukan protes terhadap pihak pengukur. Sedangkan pihak kontra tetap mendesak agar pengukuran dilakukan.
Pada akhirnya pengukuran dibatalkan. Dan terjadi berbagai pelanggaran terkait dengan 2 pihak yang bersitegang tersebut.
Sedangkan pemerintah hanya berusaha menyelesaikan imbas dari permasalahan, bukan menyelesaikan sumber masalah.

KESIMPULAN
-          Diterapkannya Landreform di suatu daerah tentunya akan ada pihak yang merasa diuntungkan dan pihak yang merasa dirugikan.
-          Pihak yang merasa diuntungkan adalah mereka yang memiliki sertifikat, tapi kesalahannya adalah tidakbersedianya mereka untuk melakukan pengukuran ulang. Pihak yang dirugikan adalah mereka yang tidak memiliki sertifikat, karena merasa lahan yang mereka dapatkan tidak sesuai.
-          Nampaknya pemecahan masalah dengan cara musyawarah telah hilang dari benak masyarakat, karena warga lebih memilih untuk membakar rumah, menganiaya, dan merusak daripada menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.

SARAN
-          Sebaiknya pengukuran ulang lahan tetap dilakukan agar kedua belah pihak mengetahui kebenaran luas wilayahnya.
-          Seharusnya penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan lebih diutamakan daripada dengan cara kekerasan.
-          Pihak pemerintah seharusnya ikut turun tangan untuk membahas dan menyelesaikan sumber permasalahan, bukan hanya imbas permasalahannya.