Delapan rumah hangus dalam bentrokan antarawarga yang kembali pecah di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), hari ini.
Delapan rumah yang dibakar oleh warga Desa Lewonara adalah milik warga Dusun Bele, Desa Lewobunga. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Desa Lewonara dan Lewobunga sebelumnya pernah terlibat konflik pada pada 2 hingga 8 Oktober lalu yang mengakibatkan satu orang tewas tertembak dan lima orang luka karena terkena panah dan tertembak.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Ajun Komisaris Besar Febrin Ida Pello mengatakan kejadian berawal dari sejumlah warga Dusun Riangbunga, Desa Lewobunga, yang pergi ke Dusun Bele untuk mengambil barang-barang mereka yang tertinggal saat bentrokan 2 Oktober lalu.
Melihat warga berbondong-bondong pergi ke Dusun Bele yang berdekatan dengan Desa Lewonara, masyarakat desa itu menyangka akan diserang. Mereka kemudian bersiap-siap melakukan serangan. Aparat keamanan dari Brigade Mobil (Brimob) dan Polres Flores Timur yang saat ini masih berjaga-jaga di Dusun Bele kemudian menghalau warga Dusun Riangbunga.
"Setelah warga Dusun Riangbunga mundur, warga Desa Lewonara justru melakukan perusakan dan membakar rumah. Ada delapan rumah yang dirusak dan dibakar," katanya.
Hingga pukul 15.30 Wita, warga dua desa yang bentrok telah kembali ke rumah masing-masing. Namun, aparat kepolisian masih bersiaga di perbatasan kedua desa guna mengantisipasi bentrok susulan. "Polisi masih amankan lokasi bentrokan," katanya. Awalnya bentrokan antarwarga dipicu perebutan tanah ulayat.
mee
Kamis, 13 Desember 2012
Rabu, 12 Desember 2012
Sengketa Pertanahan
Sengketa Pertanahan
|
||||
Gerakan Masyarakat
Pemantau Pembangunan
SENGKETA lahan sejak zaman kolonial
hingga sekarang seakan tidak pernah usai dari pengaruh percaturan politik
Indonesia. Bahkan, ditengarai hampir 80% konflik di Indonesia berlatar
belakang masalah tanah.
Tanah adalah modal dasar bagi
keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, ironisnya, sampai sekarang
pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda untuk memperbaiki pola penyelesaian
sengketa tanah secara tersistem. Bahkan, dari waktu-ke waktu sengketa
pertanahan makin parah dan memprihatinkan, seperti kasus perebutan lahan di
Mesuji, baru-baru ini.
Berawal dari 'Erpacht'
Kian masifnya konflik pertanahan di
Indonesia khususnya di daerah perdesaan banyak bersumber dari perebutan tanah
antara perkebunan (negara dan swasta) dan rakyat petani. Konflik tersebut
berawal dari lahirnya hak erpacht warisan kolonial yang kemudian
dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU) pada tanah perkebunan.
Berangkat dari adanya
kebijakan erpacht tersebut, lahan produktif yang dikuasai pengusaha
semakin luas. Tidak terkecuali tanah yang semula dikuasai para petani telah
beralih tangan kepada pengusaha, entah itu pengambilalihan secara paksa
maupun melalui campur tangan pemerintah dengan kebijakan HGU-nya. Berangkat
dari sinilah perlawanan-perlawanan para petani dalam mempertahankan tanahnya
mulai timbul.
Posisi petani semakin terjepit akibat
intervensi pemerintah dalam sengketa pertanahan, ditambah lagi pengaruh
kekuatan pasar. Sekarang ini, masalah yang dihadapi petani bukan hanya
mempertahankan tanahnya dari penguasaan negara, melainkan juga kekuatan
kapitalisme di pasar global yang cenderung meningkat.
Kekuatan pasar global mampu menyedot
siapa saja ke dalamnya. Penawaran-penawaran yang dilontarkan oleh kekuatan
pasar mampu menggeser tatanan nilai yang sudah mapan sekalipun. Konspirasi
antara negara dan pasar dari hari ke hari semakin menyudutkan posisi para
petani. Tidak sedikit para petani yang kehilangan tanah mereka. Tanah yang
semula dikuasai petani telah beralih tangan kepada para pengusaha.
Pengalihan hak kepemilikan dan penguasaan
tanah tersebut membuat petani terpaksa hidup dalam keterbatasan lahan
pertanian. Kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya
eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya
konflik pertanahan di Indonesia.
Menyulut Gerakan Radikal
Dalam banyak kasus, kebijakan negara
dalam bidang pertanahan banyak merugikan kaum tani dan akhirnya menyulut
gerakan radikal kaum tani. Tren perlawanan kaum tani saat ini mulai berubah
menjadi bentuk kekerasan massa dan sering berakhir destruktif. Target
kekerasan biasanya yang dianggap sebagai simbol-simbol kekuasaan
(negara-pasar).
Radikalisasi gerakan petani dibagi
menjadi beberapa periode, yakni masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan
reformasi. Radikalisasi petani era kolonial terjadi karena pengambilalihan
tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasa tanah oleh
Belanda dan Inggris untuk usaha perkebunan. Bentuk radikalisasi petani pada
waktu itu berupa pemberontakan terhadap pemerintah, yang dikenal dengan
istilah Ratu Adil yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan
(Katodirdjo, 1984).
Radikalisasi petani pada era Orde Lama
dipicu intervensi partai politik dalam mem-blow out masalah tanah
sebagai isu kepentingan partai. Sedangkan masa Orde Baru, tanah dipandang
sebagai komoditas. Radikalisasi gerakan petani di era reformasi dicirikan
dengan saling klaim akibat ketidakjelasan paradigma dalam penanganan sektor
pertanian. Nasib petani pun tetap termarginalisasi oleh para pemilik modal.
Perlawanan petani terhadap hegemoni
negara dalam hal kepemilikan tanah sampai sekarang belum mencapai hasil yang
memuaskan. Bahkan, negara semakin leluasa mengeksploitasi petani dengan
memanfaatkan peraturan hukum yang keliru. Negara dengan leluasa menguasai
lahan yang sebelumnya dikuasai petani yang merupakan warisan nenek moyang
mereka dan kini telah berpindah penguasaan ke tangan para kapitalis.
Bahkan, yang paling ironis adalah
terjadinya perampasan tanah petani oleh negara dengan cara menerbitkan
sertifikat ganda. Hal ini jelas-jelas mengindikasikan betapa buruknya sistem
agrari di Tanah Air.
Pembaruan Agraria
Banyaknya perpindahan lahan petani kepada
para kapitalis telah ikut mengubah kultur masyarakat kita. Kultur masyarakat
yang semulanya ramah dan bersahaja menjadi pemarah. Sentra pertanian dan
perkebunan kini berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan modern seperti
supermarket. Imbasnya, jelas-jelas menjadikan masyarakat semakin konsumtif.
Untuk memfasilitasi penyelesaian konflik
tanah, seharusnya Pemerintah Pusat maupun daerah melakukan pembaruan sistem
agraria yang masih amburadul. Jangan sampai konflik pertahanan berlanjut dan
memakan korban lebih banyak lagi. Sudah seharusnya kita bersama-sama menyatukan
visi dan misi membangun negara yang harmonis, berdaulat, dan mempunyai sistem
agraria yang baik. (n)
|
||||
Sengketa Tanah Lemukih
Sengketa
Tanah Lemukih Berawal dari Landreform
LATAR
BELAKANG
Landreform
adalah perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yg bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
Program
Landreform meliputi :
1. pembatasan
luas maks. Penguasaan tanah
2. larangan
pemilikan tanah sec. Absentee
3. redistribusi
tanah
4. pengembalian
dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan
5. pengaturan
kembali perjanjian bagi hasil
6. penetapan
luas min. pemilikan tanah pertanian
LANDASAN
TEORI
- UUPA
Pasal 7, “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
- UUPA
Pasal 10,
1) “Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2) Pelaksanaan
daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundangan.
3) Pengecualian
terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.”
- UUPA
Pasal
17
- UU No.
56 Prp Th.1960
- UU No.
2 Th. 1960
- PP No.
224 Th. 1961
KASUS
Kasus
tanah Lemukih berawal dari sengketa tanah adat Lemukih 93 hektar. Dengan adanya
aturan landreform kepemilikan tanah dibatasi. Termasuk tanah Desa Lemukih
dibatasi maksimal 30 hektar. Sisanya 66 hektar dimohon oleh penggarap tanah
sehingga keluar sertifikat hak milik.
Kepala
Kantor Pertanahan Buleleng I Gede Sukardan Ratnasa, S.H. mengatakan, sejak 1974
terjadi peralihan sertifikat kepada ahli warisnya. Padahal banyak ahli waris
tak mengetahui batas tanahnya. Terbitnya sertifikat ini memunculkan bibit-bibit
perpecahan, namun konflik itu tidak muncul ke permukaan.
Mulai
tahun 2003, warga dengan diantar kuasa hukum mereka mulai mendatangi
lembaga-lembaga resmi, seperti Kantor Bupati, DPRD dan Kantor Pertanahan.
Tututan warga antara lain meminta Bupati Bagiada, DPRD maupun Kantor Pertanahan
mengambil peran untuk membatalkan sertifikat yang dipegang sekelompok warga di
Lemukih.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selain tanah yang disertifikatkan itu merupakan tanah duwe pura, warga juga menilai sertifikat yang dipegang warga itu cacat karena proses permohonannya tidak sesuai prosedur.
Selama
tahun 2003 hingga tahun 2008, warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo
agar sertifikat atas tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga
pemegang sertifikat tetap ngotot mempertahankan tanah mereka.
Setelah
tim bekerja beberapa bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan
antara Desa Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah
tanah duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan
disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur Nomor
34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.
Menurut
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali dalam surat Nomor
570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, prosedur
penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.
Suasana
makin panas ketika tahun 2009 Sehingga akhirnya pengukuran dijadwalkan 27
Agustus 2009. Yang terjadi kemudian malah bentrok antara warga dari pihak desa
pakraman dengan warga pemegang sertifikat. Sementara pengukuran batal
dilaksanakan karena petugas merasa keselamatannya terancam.
Selama
ketegangan ini berlangsung terjadi beberapa pelanggaran, diantaranya adalah
pembakaran rumah, penyiksaan warga pendukung sertifikat, pengusiran warga yang
pro pemilik sertifikat, sweeping warga, perusakan fasilitas umum, dll.
ANALISIS
KASUS
Pembatasan
luas tanah yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan landreform sesuai
dengan pasal 7 dan 17 dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dan sertifikat hak
milik telah diterbitkan sekitar tahun 1974.
Namun,
sekitar tahun 2003 terjadi ketegangan antar warga yang ternyata mengungkit
kembali kasus landreform 1974 tersebut. Warga terpecah menjadi dua kelompok,
yakni kelompok pro dan kontra.
Kelompok
pro adalah orang-orang yang setuju dengan adanya landreform berikut
sertifikatnya. Sedangkan kelompok kontra adalah orang-orang yang tidak setuju
dengan adanya aturan pembatasan luas tanah dan adanya sertifikat hak milik
tersebut.
Kelompok
kontra menganggap bahwa proses pen-sertifikatan tersebut adalah salah. Sehingga
mereka menginginkan dilakukannya pengukuran ulang.
Namun,
dari pihak pro ingin mempertahankan sertifikatnya, sehingga mereka melakukan
protes terhadap pihak pengukur. Sedangkan pihak kontra tetap mendesak agar
pengukuran dilakukan.
Pada
akhirnya pengukuran dibatalkan. Dan terjadi berbagai pelanggaran terkait dengan
2 pihak yang bersitegang tersebut.
Sedangkan
pemerintah hanya berusaha menyelesaikan imbas dari permasalahan, bukan
menyelesaikan sumber masalah.
KESIMPULAN
- Diterapkannya
Landreform di suatu daerah tentunya akan ada pihak yang merasa diuntungkan dan
pihak yang merasa dirugikan.
- Pihak
yang merasa diuntungkan adalah mereka yang memiliki sertifikat, tapi
kesalahannya adalah tidakbersedianya mereka untuk melakukan pengukuran ulang.
Pihak yang dirugikan adalah mereka yang tidak memiliki sertifikat, karena
merasa lahan yang mereka dapatkan tidak sesuai.
- Nampaknya
pemecahan masalah dengan cara musyawarah telah hilang dari benak masyarakat,
karena warga lebih memilih untuk membakar rumah, menganiaya, dan merusak
daripada menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.
SARAN
- Sebaiknya
pengukuran ulang lahan tetap dilakukan agar kedua belah pihak mengetahui
kebenaran luas wilayahnya.
- Seharusnya
penyelesaian masalah dengan cara kekeluargaan lebih diutamakan daripada dengan
cara kekerasan.
- Pihak
pemerintah seharusnya ikut turun tangan untuk membahas dan menyelesaikan sumber
permasalahan, bukan hanya imbas permasalahannya.
Langganan:
Postingan (Atom)