Sengketa Pertanahan
|
||||
Gerakan Masyarakat
Pemantau Pembangunan
SENGKETA lahan sejak zaman kolonial
hingga sekarang seakan tidak pernah usai dari pengaruh percaturan politik
Indonesia. Bahkan, ditengarai hampir 80% konflik di Indonesia berlatar
belakang masalah tanah.
Tanah adalah modal dasar bagi
keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, ironisnya, sampai sekarang
pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda untuk memperbaiki pola penyelesaian
sengketa tanah secara tersistem. Bahkan, dari waktu-ke waktu sengketa
pertanahan makin parah dan memprihatinkan, seperti kasus perebutan lahan di
Mesuji, baru-baru ini.
Berawal dari 'Erpacht'
Kian masifnya konflik pertanahan di
Indonesia khususnya di daerah perdesaan banyak bersumber dari perebutan tanah
antara perkebunan (negara dan swasta) dan rakyat petani. Konflik tersebut
berawal dari lahirnya hak erpacht warisan kolonial yang kemudian
dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU) pada tanah perkebunan.
Berangkat dari adanya
kebijakan erpacht tersebut, lahan produktif yang dikuasai pengusaha
semakin luas. Tidak terkecuali tanah yang semula dikuasai para petani telah
beralih tangan kepada pengusaha, entah itu pengambilalihan secara paksa
maupun melalui campur tangan pemerintah dengan kebijakan HGU-nya. Berangkat
dari sinilah perlawanan-perlawanan para petani dalam mempertahankan tanahnya
mulai timbul.
Posisi petani semakin terjepit akibat
intervensi pemerintah dalam sengketa pertanahan, ditambah lagi pengaruh
kekuatan pasar. Sekarang ini, masalah yang dihadapi petani bukan hanya
mempertahankan tanahnya dari penguasaan negara, melainkan juga kekuatan
kapitalisme di pasar global yang cenderung meningkat.
Kekuatan pasar global mampu menyedot
siapa saja ke dalamnya. Penawaran-penawaran yang dilontarkan oleh kekuatan
pasar mampu menggeser tatanan nilai yang sudah mapan sekalipun. Konspirasi
antara negara dan pasar dari hari ke hari semakin menyudutkan posisi para
petani. Tidak sedikit para petani yang kehilangan tanah mereka. Tanah yang
semula dikuasai petani telah beralih tangan kepada para pengusaha.
Pengalihan hak kepemilikan dan penguasaan
tanah tersebut membuat petani terpaksa hidup dalam keterbatasan lahan
pertanian. Kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya
eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya
konflik pertanahan di Indonesia.
Menyulut Gerakan Radikal
Dalam banyak kasus, kebijakan negara
dalam bidang pertanahan banyak merugikan kaum tani dan akhirnya menyulut
gerakan radikal kaum tani. Tren perlawanan kaum tani saat ini mulai berubah
menjadi bentuk kekerasan massa dan sering berakhir destruktif. Target
kekerasan biasanya yang dianggap sebagai simbol-simbol kekuasaan
(negara-pasar).
Radikalisasi gerakan petani dibagi
menjadi beberapa periode, yakni masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan
reformasi. Radikalisasi petani era kolonial terjadi karena pengambilalihan
tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasa tanah oleh
Belanda dan Inggris untuk usaha perkebunan. Bentuk radikalisasi petani pada
waktu itu berupa pemberontakan terhadap pemerintah, yang dikenal dengan
istilah Ratu Adil yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan
(Katodirdjo, 1984).
Radikalisasi petani pada era Orde Lama
dipicu intervensi partai politik dalam mem-blow out masalah tanah
sebagai isu kepentingan partai. Sedangkan masa Orde Baru, tanah dipandang
sebagai komoditas. Radikalisasi gerakan petani di era reformasi dicirikan
dengan saling klaim akibat ketidakjelasan paradigma dalam penanganan sektor
pertanian. Nasib petani pun tetap termarginalisasi oleh para pemilik modal.
Perlawanan petani terhadap hegemoni
negara dalam hal kepemilikan tanah sampai sekarang belum mencapai hasil yang
memuaskan. Bahkan, negara semakin leluasa mengeksploitasi petani dengan
memanfaatkan peraturan hukum yang keliru. Negara dengan leluasa menguasai
lahan yang sebelumnya dikuasai petani yang merupakan warisan nenek moyang
mereka dan kini telah berpindah penguasaan ke tangan para kapitalis.
Bahkan, yang paling ironis adalah
terjadinya perampasan tanah petani oleh negara dengan cara menerbitkan
sertifikat ganda. Hal ini jelas-jelas mengindikasikan betapa buruknya sistem
agrari di Tanah Air.
Pembaruan Agraria
Banyaknya perpindahan lahan petani kepada
para kapitalis telah ikut mengubah kultur masyarakat kita. Kultur masyarakat
yang semulanya ramah dan bersahaja menjadi pemarah. Sentra pertanian dan
perkebunan kini berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan modern seperti
supermarket. Imbasnya, jelas-jelas menjadikan masyarakat semakin konsumtif.
Untuk memfasilitasi penyelesaian konflik
tanah, seharusnya Pemerintah Pusat maupun daerah melakukan pembaruan sistem
agraria yang masih amburadul. Jangan sampai konflik pertahanan berlanjut dan
memakan korban lebih banyak lagi. Sudah seharusnya kita bersama-sama menyatukan
visi dan misi membangun negara yang harmonis, berdaulat, dan mempunyai sistem
agraria yang baik. (n)
|
||||
mee
Rabu, 12 Desember 2012
Sengketa Pertanahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar